LP3K ALFATA LOTIM

RIZELDA MEMBUTUHKAN INFORMASI KUSRUS SEGERA KOMEN SOLUSI DI SISNI DI LP3K ALFATA LOMBOK TIMUR

Sabtu, 25 Januari 2014

ELDA SAID

ELDA SAID
Acara Maulid Nabi Muhammad SAW

 MA DOK  PENCERAMAH UST. H. MUHSININ QH.S.Ag


Sabtu, 04 Januari 2014

JADWAL UN 2013/2014



JADWAL  UJIAN NASIONAL/UN
MADRASAH ALIYAH NW AIKMEL LOMBOK TIMUR
TAHUN PELAJARAN 2013/2014



NO

HARI DAN TANGGAL
JAM
MATA PELAJARAN
1.
UN
SENIN, 14  APRIL 2014

07.30 – 09.30


10.30 – 12.30
BHS. INDONESIA


GEOGRAFI
UN Susulan
SELASA, 22 APRIL 2014

2.
UN
SELASA, 15 APRIL 2014

07.30 – 09.30


10.30 – 12.30

MATEMATIKA


SOSIOLOGI
UN Susulan
RABU, 23 APRIL 2014

3.
UN
RABU, 16 APRIL 2014


07.30 – 09 30


10.30 – 12.30

BAHASA INGGRIS


EKONOMI

UN Susulan
KAMIS, 24 APRIL 2014



Kamis, 02 Januari 2014

SEJARAH PENGUMPULAN DAN PENULISAN AL-QURAN

Bukhary meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Musa al-‘Asy’ary bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda kepadanya : لو رأیتنى البارحة وأنا أستمع لقرأتك لقد أعطیت مزمارا من مزامیر داود Artinya : “Andaikan engkau melihat aku tadi malam ketika aku mendengarkan bacaanmu, sungguh kau telah menghiasi pendengaranku dengan sebuah tiupan seruling dari seruling Nabi Daud”. Demikian antusiasisme para shahabat untuk mempelajari dan menghafal Al- Quran, sehingga Rasulullah pun mendorong mereka ke arah itu dan memilih orangorang tertentu yang akan mengajarkan Al-Quran kepada yang lainnya. Akan tetapi perlu disadari, menurut pemahaman dan pentakwilan para ulama yang dapat diterima mengemukakan bahwa pembatasan tujuh orang hafiz seperti yang disebutkan di atas, tidak lain adalah kelompok shahabat yang menghimpun Al-Quran di dalam dadanya masing-masing dan menghafalnya secara baik. Bahkan mereka itu telah menguji pembacaan dan ketepatan hafalannya masing-masing di hadapan Rasulullah Saw. serta isnad-nya sampai kepada kita. 7 Kecuali itu, sebenarnya masih banyak lagi jumlah para shahabat Nabi yang hafal Al-Quran, tetapi belum teruji ketepatan hafalannya di hadapan Rasulullah, terutama karena para shahabat Nabi waktu itu telah bertebaran di berbagai wilayah, di samping sebahagian mereka itu ada yang menghafal Al-Quran dari orang lain, bukan kepada Rasulullah sendiri. Dengan demikian betapa banyaknya para penghafal Al-Quran di masa Rasulullah. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan dan prioritas yang luar biasa yang diberikan Allah kepada umat ini, sehingga ia terpelihara dari perubahan dan penyelewengan. Berbeda halnya dengan Ahli Kitab, mereka tak seorangpun yang hafal Taurat dan Injil. Dalam mengabadikannya mereka hanya berpedoman dengan bentuk tulisan, tidak membacanya dengan penuh penghayatan seperti halnya Al-Quran. Oleh karena itu, masuklah unsur-unsur perubahan dan penggantian terhadap kedua kitab suci tersebut. Sementara itu pula, kegiatan dalam soal tulis-menulis di kalangan bangsa Arab pada zaman Rasulullah Saw. merupakan kegiatan yang masih relatif langka, disebabkan alat tulis-menulis ketika itu masih dalam keadaan sangat sederhana, tidak seperti halnya pada zaman sekarang. Selain itu, bangsa Arab sendiri dalam artian umum adalah bangsa yang ummi, mereka yang tidak pandai membaca dan menulis, seperti yang diisyaratkan Allah Swt. dalam surat al-Jumu’ah ayat 2 : هوالّذى بعث فى الأمّیین رسولا منهم Artinya : “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka”. Pengumpulan ayat-ayat Al-Quran dalam bentuk hafalan merupakan metoda yang dominan dibandingkan dengan metoda tulisan, hingga hafalan itulah yang menjadi pegangan umat Islam dalam penukilan Al-Quran. Meskipun demikian, pengumpulan ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan juga dilakukan dengan metoda tulisan. Begitu satu rangkaian ayat-ayat Al-Quran selesai diwahyukan, Rasulullah Saw. lalu memerintahkan kepada para shahabatnya yang terpilih untuk mencatatnya guna memperkuat hafalan mereka. Di antara para penulis wahyu Al-Quran terkemuka 8 adalah shahabat pilihan yang ditunjuk Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya seperti empat orang yang kemudian menjadi khalifah rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Mu’awiyah, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mua’dz bin Jabal. Apabila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan Al-Quran pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati, atau Al-Quran yang terhimpun di dalam dada akhirnya menjadi kenyataan tertulis. Selain dari yang disebut diatas, masih banyak lagi para pencatat wahyu dari kalangan shabahat yang menuliskan Al-Quran atas kemauan sendiri, tanpa diperintah Nabi. Mereka pada saat itu menuliskannya pada lembaran kulit, daun-daunan, kulit kurma, permukaan batu, pelepah kurma, tulang-belulang unta atau kambing yang telah dikeringkan, dan mereka jadikan sebagai dokumen pribadinya. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a bahwa ia berkata : كنّاعند رسول الله صلى الله علیه وسلّم نؤلف القرأن من الرّقاع (أخرجه الحكیم) Artinya : “Kami dahulu menulis (menyusun) ayat-ayat Al-Quran di hadapan Rasulullah pada riqa’“. Kata riqa’ pada hadits tersebut berarti lembaran kulit, lembaran daun atau lembaran kain. Keadaan ini menunjukkan betapa sederhananya alat-alat tulis yang digunakan untuk mencatat wahyu ketika Rasulullah masih hidup. Para shahabat Nabi ketika itu mencatat ayat-ayat di permukaan batu, di atas pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang-belulang unta dan kambing yang telah kering dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena alat-alat tulis di kalangan orang Arab tidak cukup tersedia, yang ada baru di negeri-negeri lain seperti Parsi dan Romawi tetapi masih sangat terbatas dan tidak disebar luaskan. Adapun yang dimaksud “menyusun ayat-ayat Al-Quran pada riqa’ “ pada hadits tersebut adalah mengumpulkan atau menyusun surah-surah dan ayat-ayat berdasar petunjuk yang diberikan Rasulullah sesuai menurut apa yang dipesankan Allah kepdanya. Ibnu Abbas berkata : 9 ال : �� ب فق �� كان رسول الله صلى الله علیه وسلّم إذا نزلت علیه سورة دعا بعض من یكت ضعوا هذه السورة فى موضع الذى یذكر فیه كذا وكذا Artinya : “Adalah Rasulullah apabila turun ayat, beliau segera memanggil penulis, lalu bersabda : “Letakkanlah ayat ini dalam susunan yang disebutkan di dalamnya ini …dan ini …!”. Penertiban dan susunan ayat-ayat Al-Quran langsung diatur oleh Nabi Saw. sendiri berdasar bimbingan Jibril a.s yang menjadi pesuruh Allah. Dalam hal ini, para ulama sepakat mengatakan bahwa cara penyusunan Al-Quran yang demikian itu adalah tauqify, artinya susunan surah-surah dan ayat-ayat-ayat Al-Quran seperti yang kita saksikan di berbagai mushaf sekarang adalah berdasarkan ketentuan dan petunjuk yang diberikan Rasulullah sesuai perintah dan wahyu dari Allah Swt. Dengan demikian, tidak ada tempat dan peluang ijtihad dalam penertiban dan penyusunannya. Meskipun semua urutan surah dan ayat-ayatnya disusun berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah, namun Nabi tidak memandang perlu untuk menghimpun ayat-ayat yang ada pada setiap surah dalam berbagai shahifah karena jumlahnya tidak terhitung, di samping juga tidak perlu menghimpun semua cara pencatatan Al-Quran di dalam satu mushaf. Dengan demikian, penulisan Al-Quran pada masa Nabi itu tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi yang jelas bahwa di saat Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Al-Quran telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan di atas. Ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah, dan penulisannya supaya dipertimbangkan mencakup “ tujuh huruf ” yang menjadi landasan turunnya Al-Quran. Persoalan Al-Quran diturunkan dalam “tujuh huruf” akan dibahas pada bahagian tersendiri pula. Bilamana wahyu turun, para qurra segera menghafal dan ditulis oleh para penulis. Pada waktu itu belum dirasa perlu membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu, kalau-kalau ada ayat yang 10 menasakh beberapa ketentuan hukum yang telah turun sebelumnya.3 Al-Zarkasyi menyebutkan juga bahwa Al-Quran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi, guna mencegah kemungkinan terjadinya perubahan pada suatu waktu.4 Penulisan Al-Quran secara tertib dilakukan kemudian sesudah Al-Quran selesai turun semua, yaitu pada saat wafatnya Rasulullah. Dengan wafatnya Rasulullah, maka berakhirlah masa turunnya Al-Quran. Kemudian Allah mengilhamkan penulisannya kepada para khulafah al-rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat tentang jaminan pemeliharaan Al-Quran sepanjang zaman.5 Dalam hal ini terjadi pertama kalinya pada masa khalifah Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar bin Khattab yang sangat meyakinkan. Pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar Setelah Rasulullah wafat, atas suara mufakat menunjuk Abu Bakar menjalankan urusan agama Islam. Maka dalam awal masa menjalankan tampuk kepemerintahan, khalifah Abu Bakar banyak menghadapi pristiwa-pristiwa besar terutama pristiwa yang berkenaan dengan orang-orang yang menyeleweng dari ajaran Islam, yang dikenal dengan murtad. Untuk menghadapi pristiwa demikian, ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkan tentera untuk memerangi orang-orang yang murtad yang dipimpin oleh Musailamah al-Kadzdzab (yang mengaku dirinya Nabi), maka terjadilah peperangan Yamamah pada tahun 12 hijrah. Pada masa pertempurtan tersebut, banyak menelan korban yang diperkirakan tidak kurang dari 70 orang shahabat yang masyhur sebagai huffadz Al-Quran. 3 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan, Beirut : Darul Fikr, Jilid I, 1399/1979, hal. 98. Lihat juga Muhammad Ibn Abdillah Al-Zarkasy; Al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, Kairo : ‘Isa al-Babi al-Halabi wa Syirkah, Jilid I, 1972, hal. 235. 4 Al-Zarkasy, Ibid, ,hal. 262. 5 Seperti yang diisyaratkn-Nya dalam surat al-Hijr ayat 9 : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al- Quran dan Kami pula yang akan menjaganya”. 11 Dengan adanya pristiwa yang tragis itu, membuat Umar bin Khattab menjadi gundah gelisah, dikarenakan kekhawatirannya terhadap gugurnya para shahabat yang hafal Al-Quran. Pada sisi lain, Umar juga merasa khawatir kalau-kalau terjadi pula peperangan ditempat lain yang lebih dahsyat dan akan mengorbankan lebih banyak lagi para pengahafal Al-Quran, sehingga Al-Quran akan hilang dan musnah begitu saja. Adanya kekhawatiran seperti itu, ia datang menemui khalifah Abu Bakar dan mengajukan usulan supaya segera dilaksanakan pengumpulan Al-Quran dalam bentuk kodifikasi (pembukuan) agar ia tetap terpelihara dan terjamin sepanjang masa. Pada mulanya Abu Bakar merasa ragu untuk menerima gagasan dan saran dari Umar bin Khattab itu. Sebab ini merupakan suatu pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Akan tetapi, atas pandangan dan pertimbanganpertimbangan yang diberikan Umar sehingga terbukalah hati kahlifah Abu Bakar menerima usulan yang baik itu. Lalu ia memutuskan bahwa pekerjaan yang monumental itu diserahkannya kepada Zaid bin Tsabit untuk melaksanakannya, mengingat kedudukannya sebagai pendamping setia Rasulullah, juru tulis wahyu yang kenamaan, berakal cerdas dan senantiasa mengikuti pembacaan Al-Quran dari Rasululllah. Pada mulanya Zaid bin Tsabit merasa ragu dan menolak melaksanakan tugas berat itu, khawatir kalau-kalau terjerumus ke dalam perbuatan yang menyimpang dari ajaran Al-Quran dan sunnah Rasul-Nya, sama halnya dengan Abu Bakar sebelum itu. Akan tetapi, karena terus-menerus dihimbau, diberi dorongan dan semangat oleh para shahabat besar lainnya, terbukalah pintu hatinya untuk menerima tugas yang suci itu. Akhirnya Zaid bin Tsabit memulai tugas yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para huffaz (penghafal Al-Quran) dan menelusuri catatan ayat-ayat yang ada pada para penulis lainnya, di samping mengkompromikan antara hafalan dan catatannya sendiri. Dengan sangat teliti dan penuh kehati-hatian, akhirnya Zaid berhasil menghimpun catatan-catatan yang berserakan itu ke dalam satu naskah yang kemudian disebut dengan “Mushaf Al-Quran”. Setelah selesai mngerjakan pekerjaan 12 berat itu, Zaid menyerahkan mushaf itu kepada khalifah Abu Bakar, yang kemudian mushaf itu di pegang oleh khalifah sendiri hingga wafatnya. Setelah ia wafat pada tahun 13 hijrah, mushaf Al-Quran yang satu itu selanjutnya dipegang oleh khalifah Umar bin Khattab, dan sepeninggal khalifah Umar mushaf Al-Quran itu disimpan di rumah salah seorang putrinya yang bernama Siti Hafsah r.a, isteri Nabi Muhammad Saw. Kemudian pada permulaan pemerintahan khalifah Utsman, mushaf itu dimintanya dari tangan Hafasah r.a. Penggandaan Al-Quran pada masa Utsman Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin ‘Affan, penyebaran Islam bertambah luas sampai ke berbagai kota dan daerah. Maka seiring dengan perkembangan umat Islam, gerakan pengajaran Al-Quran pun semakin berkembang. Para qura’ (para ahli bacaan) pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk di setiap wilayah itu mempelajari Al-Quran dari qari yang dikirim kepada mereka. Misalnya penduduk negeri Syam mendapatakan pengajaran bacaan Al-Quran dari Ubay bin Ka’ab r.a, penduduk Kaufah dibimbing oleh Abdullah bn Mas’ud r.a, dan sebagian penduduk yang lain belajar Al-Quran kepada Abu Musa al-‘Asy’ary r.a. Mereka mengajarkan Al-Quran dengan bacaan yang beaneka ragam sesuai dengan tuntutan dialek penduduk masing-masing daerah, dan sejalan pula dengan perbedaan “huruf” yang dengannya Al-Quran diturunkan. Dengan adanya perbedaan bunyi huruf dan bentuk bacaan tersebut, maka sebahagian mereka ada yang merasa heran, dan sebahagian lagi merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Kondisi yang seperti ini semakin hari semakin menajam, pada gilirannya menimbulkan pertikaian, mengakibatkan permusuhan dan perbuatan dosa karena satu sama lainnya saling kufur- mengkufurkan karena soal bacaan Al-Quran. Di sisi lain, perbedaan itu juga disebabkan karena pada masa itu penulisan Al- Quran tanpa titik-titik (di atas atau di bawah huruf) dan tanpa syakl (tanda bunyi, 13 seperti fathah, kasrah, dhammah, saknah dan lain-lain), dan juga karena cara orang membaca Al-Quran tidak sama, tergantung cara pencatatan Al-Quran pada masingmasing orang. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing tetap mempertahankan dan berpegang pada bacaannya. Melihat keanekaragaman bacaan Al-Quran tersebut, akhirnya pada suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan antara pasukan Syam bersama pasukan Irak berperang membela dakwah agama Islam di Armenia dan Adzerbeidzan, Huzaifah bin al-Yaman datang menghadap khalifah Utsman mengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan Al-Quran yang semakin menajam dan hampir-hampir menimbulkan pertengkaran fisik di kalangan kaum muslimin, seraya katanya : “Ya ! Amirul Mukminin….., perasatukanlah segera umat ini sebelum mereka berselisih mengenai Kitabullah sebagaimana yang terjadi di kalangan Yahudi dan Nasrani”. Tampaknya bukan Huzaifah al-Yaman saja yang memendam rasa kekhawatiran tersebut, bahkan banyak lagi shahabat Nabi yang turut memprihatinkan kenyataan itu, karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan, termasuk khalifah Utsman sendiri pun turut merasa cemas. Akhirnya khalifah Utsman melakukan tindakan preventif untuk mengatasi perbedaan bacaan yang sangat mengkhawatirkan itu, sehingga umat Islam diharapkan tetap pada bacaan yang satu huruf. Untuk mengatasi kondisi demikian, khalifah mengumpulkan para shahabat-shahabat terkemuka dan cerdik cendikiawan untuk bermusyawarah guna mengantisipasi perselisihan dan perpecahan sebagai akibat dari perbedaan bacaan tersebut, seraya berkata : عندى أنتم تحتلفون، فمن ناى عنى من الأمصار أشد إختلافا (أخرجه أبو داود) Artinya : “Anda semua dekat denganku malah berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”. Di dalam musyawarah tersebut, mereka sependapat agar Amirul Mukminin menyalin dan mereproduksi mushaf kemudian mengirimkannya ke berbagai kota dan wilayah Islam, dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushaf14 mushaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Quran. Untuk merealisasikan keputusan tersebut, maka khalifah Utsman mengirim sepucuk surat kepada Hafsah, berisi permintaan agar Hafsah mengirimkan mushaf (yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar) yang disimpannya untuk disalin menjadi beberapa naskah. Selanjutnya khalifah Utsman menugaskan kepada komisi berempat yang terdiri dari shahabat pilihan yang bacaan dan hafalannya dapat dihandalkan, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubeir, Said bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits untuk bekerjasama menyempurnakan bacaan Al-Quran yang tertulis dalam mushaf Abu Bakar serta menyalinnya menjadi beberapa naskah. Mereka itu semuanya berasal dari suku Quraisy Muhajjirin kecuali Zaid bin Tsabit. Ia berasal dari kaum Anshar Madinah. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini dilakukan pada tahun ke-25 hijrah. Namun sebelum komisi bekerja, khalifah Utsman terlebih dahulu memberikan pengarahan antara lain katanya : زّل �� ا ن �� ریس فإنم �� سان ق �� اكتبوه بل �� ران ف �� ن الق �� یئ م �� ى ش �� ت ف �� دبن ثاب �� تم وزی �� تم أن �� إذاختلف بلسانهم (أخرجه البخارى) Artinya : “Bila anda sekalian (bertiga, kaum Quraisy) ada perselisihan pendapat tentang bacaan dengan Zaid bin Tsbait, maka tulislah berdasarkan bacaan (dialek) Quraisy, karena Al-Quran (pada pokoknya) diturunkan dengan bahasa Quraisy”.6 Setelah pekerjaan berat team ini selesai, lalu khalifah Utsman menyerahkan kembali mushaf yang asli itu kepada Hafsah. Dan selanjutnya beberapa naskah salinannya dikirim ke berbagai kawasan Islam. Di samping memerintahkan supaya catatan tentang ayat-ayat Al-Quran atau mushaf-mushaf lainnya yang bertebaran dikalangan kaum muslimin, segera dibakar.7 Sebab, jika semua mushaf dengan bermacam-macam cara penulisannya itu dipertahankan, maka sudah barang tentu akan menambah tajamnya pertengkaran dan permusuhan. Apalagi kehidupan kaum muslimin ketika itu sudah agak jauh dari kehidupan semasa Rasulullah masih hidup. 6 Riwayat Imam Bukhari dengan bersumber kapada Anas…. 7 Subhi Sholeh, Op. Cit., hal. 90. 15 Adapun mengenai jumlah salinan naskah yang dikirim ke berbagai daerah Islam itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Abu ‘Amr ad-Dani mengatakan bahwa khalifah Utsman mereproduksi mushaf Hafsah menjadi empat naskah. Satu naskah dikirm ke Kaufah, Basyrah dan Syam, satu naskah lagi disimpan Utsman sendiri. Sementara ada pula sebahagian ulama mengatakan bahwa naskah salinan berjumlah tujuh buah. Selain dikirim ke tiga daerah disebut diatas, tiga naskah lainnya dikirim ke Mekkah, Yaman dan Bahrein. Lain halnya as-Suyuti, ia berpendapat bahwa menurut riwayat yang masyhur naskah itu berjumlah sebanyak lima naskah.8 Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai jumlah mushaf yang disalin, yang jelas dan pasti adalah setiap naskah itu mencakup seluruh Al-Quran. Ia memuat 114 surat yang ditulis tanpa titik dan syakl, tanpa nama surat dan tanpa pemisah persis sama dengan penulisan mushaf pada masa khalifah Abu Bakar r.a. Di samping itu, ia juga bersih dari tambahan catatan tafsir, atau rincian catatan umum, atau tulisan lain yang berfungsi untuk melestarikan makna yang dimaksud. Dan juga mushaf Utsman tersebut, tidak terpengaruh oleh catatan yang dibuat orang-seorang, dan susuan surat serta ayat-ayatnya sama seperti mushaf-mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini. Penyempurnaan Tulisan Mushaf Utsman Penulisan ayat-ayat Al-Quran, dari sejak pengumpulan, pembukuan serta penggandaan dapat dikategorikan sebagai “Tulisan Kufi”, yaitu salah satu jenis khat (tulisan) yang dibangsakan kepada nama kota Kaufah. Penulisan Al-Quran tersebut belum diberi tanda-tanda perbedaan huruf berupa titik-titik (titik satu, dua, dan tiga baik di atas ataupun di bawah) dan berupa syakl (tanda-tanda bunyi; seperti fathah, kasrah, dhammah, saknah dan lain sebagainya), dan juga tanpa pemisah satu ayat dengan ayat lainnya, dan lain-lain tanda baca seperti yang telah sempurna dalam mushaf-mushaf Al-Quran yang ada sekarang ini. 8 Jalaluddin al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 104. 16 Oleh karena itu, cara penulisan demikian membuka peluang dan kemungkinan terjadinya beraneka ragam bacaan yang berkembang di berbagai kota dan negeri yang berlainan dialek dan bahasanya, serta mempunyai kekhususan adat kebiasaan masingmasing. Padahal waktu itu banyak orang-orang yang menulis Al-Quran pada lembaranlembaran kertas dan akhirnya tersebar luas. Sementara itu, umat Islam sudah semakin berkembang dan mereka banyak berbaur dengan orang-orang yang bukan Arab. Akhirnya bahasa-bahasa ‘ajam (non Arab) mulai menyintuh kemurnian serta keaslian bahasa Arab, sehingga banyak orang yang keliru membaca lafadz (kata-kata) Al-Quran dan huruf-hurufnya karena watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni mulai mengalami kerusakan. Dengan demikian, muncul kekhawatiran terjadinya perubahan nash-nash Al- Quran jika penulisan mushaf dibiarkan tanpa tanda-tanda bacaan Al-Quran (berupa syakl, titik dan lain-lain) tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 65 hijrah (empat puluh tahun sesudah masa penggandaan mushaf Utsman) tampillah generasi yang terdiri dari beberapa orang pembesar pemerintahan untuk memelihara umat dari kekeliruan dalam membaca dan memahami Al-Quran. Mereka berusaha memikirkan tanda-tanda tertentu yang dapat membantu dan memelihara pembacaan Al-Quran yang benar. Dalam hal ini, beberapa sumber riwayat menyebut nama dua orang tokoh yang telah meletakkan dasar tanda-tanda bacaan Al-Quran, yaitu : 1. Ubaidillah bin Ziyad (wafat 76 H), diriwayatkan bahwa ia memberi perintah kepada seorang yang berasal dari Persia untuk menambahkan huruf alif ( ا ) tanda bunyi panjang atau mad. Misalnya kata “ انت �� ك “ ditulis tanpa huruf alif (tanda madd atau suara panjang) sehingga menjadi “ ت�� كن ”. Semua diubah penulisannya menjadi انت “ �� ك “. Demikian pula pada kata “ ت�� قال “ yang ditulis dengan “ ت�� قل “ diubah menjadi “ .“ قالت 2. Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafy (wafat 95 H), diberitakan pula bahwa ia berupaya memperbaiki penulisan Al-Quran pada sebelas tempat, dan setelah diadakan perbaikan ternyata bacaan menjadi lebih jelas dan lebih mudah difahami maknanya. 17 Usaha ke arah perbaikan membaca Al-Quran itu tidak merobah bacaan dan penulisannya, karena nash Al-Quran sudah terkodifikasi di dalam dada para ulama, satu sama lain saling mencocokan secara lisan maupun cara lain yang diyakini kebenarannya. Sejalan dengan perkembangan tersebut, upaya perbaikan bentuk penulisan tidak terjadi sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dari generasi ke generasi hingga mencapai puncak keindahannya pada akhir abad ke-3 hijrah. Di samping itu, para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan untuk hal perbaikan cara membaca Al-Quran itu. Banyak orang berpendapat bahwa orang peletak batu pertama yang melakukan usaha itu adalah Abul Aswad ad-Duali. Sebenarnya Abul Aswad ad-Duali dikenal karena dialah orangnya yang pertama kali meletakkan kaedah tata bahasa Arab, atas perintah Ali bin Abi Thalib. Justru tidaklah masuk akal kalau ada orang yang mengatakan bahwa Abul Aswad ad-Duali sendiri yang meletakkan dasar tanda-tanda baca berupa syakl dan titik dalam penulisan Al-Quran. Pekerjaan berat itu tentu dilakukan oleh beberapa orang dan kesempurnaannya tidak dapat dicapai selama satu generasi, melainkan beberapa generasi. Sehingga dalam perkara perbaikan itu selalu saja disebut nama tiga orang tokoh selainnya, yaitu Hasan al-Basri, Yahya bin Ya’mar dan Nashr bin ‘Ashimal- Laitsi. Dengan demikian, banyak orang yang berpendapat bahwa penemuan akan cara penulisan Al-Quran dengan huruf-huruf bertitik merupakan kelanjutan dari kegiatan Abul Aswad ad-Duali, sebab menurut riwayat Abul Asawd-lah terkenal dalam hal ini. Sedangkan orang-orang lain disebutkan itu, mereka mempunyai upaya-upaya lain dan menaruh andil yang dicurahkannya dalam perbaikan cara pembacaan Al-Quran tersebut. Az-Zarkasyi mengutip pendapat al-Mabrad yang mengatakan bahwa orang pertama yang meletakkan titik-titik pada mushaf ialah Abul Aswad ad-Duali.9 Sedangkan Hasan al-Basri sebenarnya tidak dikenal mempunyai kagiatan positif dalam menemukan cara penulisan berupa titik, tetapi hanya saja ia tidak menolak cara penulisan seperti itu, karena itu dia tidak bersikap sekeras para ulama pada zaman awal 9 Al-Zarkasy, Op. Cit., hal. 250; Lihat juga Muhamad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam min Al- Quran, Jilid I, Mekkah, t.th. hal. 107. 18 pertumbuhan Islam. Sehingga dengan sikapnya yang demikian itu, barangkali itu dijadikan oleh para peneliti sejarah bahwa dia termasuk orang pertama yang menemukan cara penulisan Al-Quran berupa tanda titik-titik tersebut. Lain pula halnya Yahya bin Ya’mar, sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia termasuk orang pertama yang meletakkan tanda-tanda baca berupa titik-titik pada mushaf. Namun sampi sa'at ini tidak ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa Yahya bin Ya’mar adalah benar orang pertama yang meletakkan tanda-tanda baca itu, kecuali jika yang dimaksud itu adalah Yahya bin ‘Amar, karena dialah yang mula meletakkan tanda-tanda baca iru di kota Muruw. Peranannya itu dibuktikan ketika Ibn Khalkan mengatakan; Ibnu Sirin memupunayi mushaf yang huruf-hurufnya sudah bertitik sebagai tanda-tanda baca yang dilektakkan oleh Yahya bin ‘Amar.10 Adapun tentang tokoh Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi, tidaklah mustahil kalau pekerjaannya dalam meletakkan dasar tanda-tanda bacaan Al-Quran merupakan kelanjutan dari pekerjaan dua orang gurunya, yaitu Abul Aswad ad-Duali dan Ibn Ya’mar. Meskipun tidak dapat dipastikan, apakah Abul Aswad ad-Duali ataukah Yahya bin Ya’mar yang merupakan orang pertama meletakkan tanda-tanda baca pada mushaf, namun tak ada alasan untuk mengingkari andil mereka dalam upaya memperbaiki cara penulisan mushaf dan memudahkan bacaannya bagi segenap kaum muslimin. Selain itu, tidak diragukan pula peranan al-Hajjaj. Terlepas dari penilaian orang tentang dirinya dan niat pribadinya - yang cukup besar dan tak dapat diingkari aktifitasnya dalam mengawasi pekerjaan peletakan tanda-tanda baca dalam mushaf serta penjagaannya yang ketat. Diriwayatkan, kononnya Abul Aswad ad-Duali pernah terperanjat mendengar seseorang membaca firman Allah dalam surat at-Taubah ayat ن “ : 3 �� رئ م �� إن الله ب وله �� شركین ورس �� الم “ (Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mmutuskan hubungan dengan orang 10 Al-Zarkasy, Op. Cit., hal. 250. 19 musyrikin). Orang lain lagi membacanya “ وله �� شركین ورس �� ن الم �� رئ م �� إن الله ب " (Sesungguhnya Allah mmutuskan hubungan dengan kaum musyrikin dan dari rasul-Nya). Kesalahan qari itu terjadi pada pembacaan “kasrah” pada kata “ وله �� رس “. Lalu hal ini mengejutkan Abul Aswad dan mengatakan : “Maha Suci Allah dari pemutusan hubungan dengan Rasul- Nya”. Dengan adanya pristiwa itu, beberapa hari kemudian Abul Aswad berangkat ke Basrah untuk menemui Ziyad, penguasa daerah itu. Abul Aswad berkata : “Kini aku bersedia memenuhi apa yang pernah anda minta kepadaku”. Sebab jauh sebelumnya Ziyad memang pernah meminta Abul Aswad supaya membuatkan tanda-tanda baca agar orang-orang lebih dapat memahami Kitabullah dengan baik dan benar.11 Akan tetapi, Abul Aswad tidak segera memenuhi permintaan Ziyad tersebut. Ia mengulur-ulur waktu sampai akhirnya ia dikejutkan oleh pristiwa salah baca tersebut. Sejak itu mulailah ia bekerja giat dan dengan ijtihadnya berhasil membuat tanda fathah berupa satu titik di atas huruf, kasrah berupa satu titik di bawah huruf, dhammah berupa satu titik di antara bagian yang memisahkan huruf, dan saknah berupa dua titik.12 Al-Suyuthi menyebutkan Abul Aswad ad-Duali adalah orang pertama yang melakukan usaha membuat tanda bacaan berupa titik-titik atas dasar perintah Abdul Malik bin Marwan, bukan atas perintah Ziyad.13 Terlepas dari persoalan itu, kita tidak tahu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu didorong oleh kemauannya sendiri ataukah hanya memenuhi suatu perintah, namun yang jelas dialah orang pertama yang melihat adanya keperluan yang amat besar itu. Pada perkembangan selanjutnya, perhatian orang kepada usaha memudahkan penulisan Al-Quran semakin besar. Perbaikan mushaf rasm Utsmani berjalan secara bertahap. Pada tahap mulanya upaya difokuskan membuat tanda fathah berupa satu titik di atas huruf, kasrah berupa satu titik di bawah huruf, dhammah berupa satu titik di antara bagian yang memisahkan huruf, dan saknah berupa dua titik, maka kemudian terjadi perubahan penentuan dengan mengambil berbagai macam bentuk ke arah 11 Ibid, hal. 250-251 disebut, Abul Faraj mengatakan; yang memerintahkan Abu Aswad meletakkan titik-titik pada mushaf ialah Ziyah bin Abi Sufyan, Lihat juga Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op. Cit., hal. 108. 12 Muhammad Abd al-’Azim Al-Zarqany, Manahilul Irfan, Beirut : Dar al-Fikr, 1988, Jilid I dan II, hal. 401, Lihat Shubhi al-Shaleh, Op. Cit., hal. 108. 13 Jalaluddin al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 167. 20 perbaikan selanjutnya. Al-Kholil misalnya, membuat perubahan harakat yang berasal dari huruf, fathah adalah dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah berupa sempang di bawah huruf, dhammah dengan waw kecil di atas huruf, dan tanwin dengan tambahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan, dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada “nun” dan “tanwin” sebelum huruf “ba” diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedangkan "nun" dan "tanwin" sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda "sukun" dengan warna merah. "Nun" dan "tanwin" tidak diberi tanda apa-apa ketika idgham dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang diidghamkan tidak diberi tanda sukun, tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah, kecuali huruf “ta” sebelum “ta”, maka sukun tetap dituliskan, misalnya 14 .فرّطت Pada akhir abad ke-3 hijrah, ketika Abu Hatim as-Sajistani menulis buku tentang tanda baca titik dan syakl bagi Al-Quran, maka cara penulisan mushaf sudah mendekati kesempurnaan, bahkan penulisan mushaf sudah mencapai pada puncak keindahannya. Kaum muslimin pun berlomba-lomba menulis mushaf dengan khat (tulisan) seindah mungkin dan menemukan tanda-tanda yang khas. Begitu juga dalam hal menciptakan tanda baca yang istimewa, misalnya mereka memberikan untuk huruf yang musyaddadah (bertasydid) dengan membubuhkan sebuah tanda setengah lingkaran di atasnya, membuat tanda alif washl (huruf alif di depan penghubung di depan nama benda dan tidak dibaca) dengan membubuhkan garis tarik di atasnya, di tengahnya sesuai dengan harakah (bunyi suara) huruf sebelumnya; fathah, kasrah, atau dhammah.15 Selanjutnya secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat-ayat, dan rumus-rumus yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf (berhenti). Tanda waqaf lazim adalah ( م), waqaf mamnu’ ( لا ), waqaf jaiz yang boleh waqaf atau tidak ( ج ), waqaf jaiz tetapi washal-nya lebih utama ( لى �� ,( ص waqaf jaiz tetapi waqafnya lebih utama ( ى�� قل ), waqaf mu’anaqah yang bila telah waqaf pada suatu tempat tidak dibenarkan waqaf di tempat yang lain diberi tanda ( .. .. ), 14 Ibid, hal. 168. 15 Lihat al-Zarqani, Op. Cit. hal. 104, Lihat Manna’ Kaolil Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Beirut : Al-Syarikah al-Muttahidah li al-Tauzi, 1973, hal. 222. 21 selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan-penyempurnaan lainnya. Pada mulanya memang banyak orang yang merintangi dan menghalangi ke arah perbaikn cara penulisan Al-Quran, karena dikhawatirkan akan terjadi penambahan dalam Al-Quran, berdasarkan ucapan seorang shahabat terkemuka Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan Abu Ubaid : “Murnikanlah Al-Quran, dan jangan dicampuradukkan dengan apapun juga”.16 Akan tetapi pada zaman berikutnya, banyak kaum muslimin menyukai sesuatu yang dahulunya ditolak dan ditentang mengenai penggunaan tanda-baca titik dan syakl pada penulisan mushaf. Mereka yang dahulunya mengkhawatirkan terjadinya perubahan nash Al-Quran karena ditulis dengan tandatanda syakl dan titik, sekarang malah mengkhawatirkan terjadinya salah baca pada orang-orang awam yang tidak mengerti, jika penulisan mushaf tanpa dibubuhi tandatanda baca. Justru prinsip menjaga nash Al-Quran dengan seketat-ketatnya itulah yang merupakan sebab pokok yang membuat orang pada suatu masa tidak menyukai penggunaan titik dan syakl dalam penulisan Al-Quran, sedang pada masa yang lain menyukai penggunaannya. An-Nawawi saja misalnya, berkata : “Penulisan mushaf dengan membubuhkan titik dan syakl adalah suatu hal yang mustahab (lebih disukai), karena itu merupakan pencegahan bagi kemungkinan terjadinya salah baca dan pengubahan Al-Quran”.17 Dengan demikian, peletakan tanda baca tidak berlawanan dengan prinsip kemurnian Al-Quran. Hal-hal baru yang mulanya tidak disukai para ulama, tetapi kemudian dianggap baik adalah penulisan tanda-tanda pada tiap-tiap kepala surah, peletakan tanda yang memisahkan ayat, pembahagian Al-Quran menjadi juz-juz, dari juz-juz dibagi menjadi ahzab (kelompok ayat) dan dari ahzab dibagi lagi menjadi arba’ (perempatan). Semua itu ditandai dengan isyarat-isyarat khusus. Tanda permulaan tiap ayat merupakan soal yang paling cepat diterima oleh kaum muslimin, sebelum tanda-tanda lainnya. Sebab mereka membutuhkan pengertian tentang pembagian ayat-ayat, terutama setelah adanya kebulatan pendapat bahwa urutan ayat-ayat Al-Quran adalah ketentuan dari 16 Al-Suyuthi, Op. Cit., hal. 290, Lihat juga Muhammad Ali al-Shabuni, Op. Cit., hal. 111 17 Ibid. 22 Rasulullah Saw.18 Mereka meberikan tanda-tanda dengan cara berbeda-beda. Dengan tanda-tanda seperti itu, kadang-kadang mereka dapat mengingat jumlah ayat dalam sebuah surah, meskipun adakalanya mereka juga lupa. Karena itu ada di antara mereka yang membutuhkan tulisan ‘asyr (sepuluh) dengan huruf depannya, yaitu ‘ain pada tiaptiap akhir sepuluh ayat.19 Ada juga yang menggunakan tanda berupa tulisan kata depan khams (lima), kha pada akhir tiap lima ayat. Sedangakan mengenai dekorasi pada awal setiap surah, yang di dalamnya tertulis nama-nama surah yang bersangkutan dan keterangan yang menunjukkan surah itu Makkiyah atau Madaniyah, pada masa itu memang ditentang oleh kaum konservatif di kalangan ulama dan kaum muslimin awam. Mereka berkeyakainan kuat bahwa semuanya itu bukan tauqifi (bukan kehendak dan bukan atas persetujuan Rasulullah), tetapi berdasarkan contoh perbuatan atau kehendak para shahabat Nabi. Jika kita tidak dapat menerima penempatan surah-surah Al-Quran itu sebagai hasil ijtihad, tetapi tauqifi maka berarti kita tidak mempunyai dalil yang kuat untuk membuktikan bahwa nama-nama surah itu pun tauqifi juga. Kemudian setelah banyak orang menandai mushafnya dengan berbagai tanda untuk memisahkan ayat yang satu dari ayat yang lain, lalu mereka semakin berani mencantumkan nama-nama surah pada awal tiap surah, sehingga sulit dicegah upaya orang untuk memperindah dan memperelok bentuk susunan mushaf. Kononnya, khalifah al-Walid (berkuasa tahun 86-96 H) menunjuk Khalid bin Ubai al-Hayyaj sebagai penulis mushaf, karena ia dikenal dengan tulisannya yang indah, dan juga ia yang menghiasi mihrab Rasulullah Saw. di masjid Madinah dengan tulisan-tulisan yang indah. Sejak sa'at itu hingga akhir abad ke-4 hijrah para penulis (kaligrafer) giat menulis mushaf dengan huruf Kuufi (hurub Arab yang lazim digunakan penduduk Kufah), yang kemudian lambat-laun tergeser oleh huruf Nasakh yang indah pada permulaan abad ke-5 Hijrah, termasuk penggunaan titik dan bunyi suara (harakah) sebagaimana yang kita kenal sekarang. 18 Shubi al-Shalih, Op. Cit., hal.90 19 Al-Zarkasy, Op. Cit., hal. 25, Lihat juga Subhi Shaleh, Op. Cit., hal. 115 23 Penutup Pada masa Rasulullah Saw., setiap ayat yang turun langsung beliau ajarkan kepada para shahabatnya. Selain menyuruh mereka untuk menghafal, Rasulullah Saw. juga memerintahkannya untuk mencatat guna memperkuat hafalan mereka. Di antara para penulis Al-Quran terkemuka, baik dan indah tulisannya yang ditunjuk Rasul adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mua’dz bin Jabal. Namun karena keterbatasan alat-alat tulis, maka ayat-ayat al-Quran pada masa itu mereka tulis pada lembaran kulit, daun-daunan, kulit kurma, permukaan batu, pelepah kurma, tulang-belulang unta atau kambing yang telah dikeringkan dan sebagainya. Selanjutnya seiiring dengan perkembangan, secara berangsur-angsur dari generasi ke generasi upaya perbaikan bentuk penulisan al-Quran terus dilakukan. Sebagai peletak batu pertama tentang dasar tanda-tanda baca berupa syakl dan titik dalam penulisan Al-Quran adalah Abul Aswad ad-Duali.